Rabu, 03 Oktober 2012

Gua tebing di bekas wilayah Kerajaan Mustang menyingkap rahasianya.

Oleh MICHAEL FINKEL
Foto oleh CORY RICHARDS
Tengkorak itu, tengkorak manusia, berada di atas sebuah batu rapuh di ujung utara distrik Mustang nan terpencil di Nepal. Pete Athans, pemimpin tim multidisipliner yang beranggotakan pendaki gunung dan ahli arkeologi, mengenakan harnes dan mengaitkannya ke tali panjat. Dia memanjat batu setinggi enam meter itu dengan tali yang diulur oleh pendaki lain, Ted Hesser.

Ketika sampai di tengkorak itu, dia me­ngeluar­­kan sarung tangan lateks biru untuk mencegah DNA-nya mengontaminasi temuan tersebut, dan dengan perlahan melepaskannya dari tanah. Hampir dapat dipastikan Athans merupakan orang pertama yang memegang tengkorak ini dalam 1.500 tahun. Tanah berjatuhan dari rongga mata tengkorak itu.

Dia memasukkan temuan itu ke dalam kantong merah yang memiliki bantalan pelindung, lalu menurunkannya ke tiga ilmuwan yang menunggu di bawah: Mark Aldenderfer dari University of California, Merced; Jacqueline Eng dari Western Michigan University; dan Mohan Singh Lama dari Departemen Arkeologi Nepal.
Aldenderfer sangat senang karena di tengko­rak itu masih tersisa dua geraham. Melalui gigi, kita bisa mengetahui makanan, kesehatan, serta tempat lahir seseorang. Eng, ahli bioarkeologi, dengan cepat menyimpulkan bahwa tengkorak itu kemungkinan berasal dari seorang pria dewasa yang masih muda. Dia menemukan tiga retak tulang yang telah sembuh pada tempurung kepala dan satu di rahang kanan. “Tanda-tanda kekerasan,” duganya. “Atau mungkin dia kena tendang kuda?”

Namun, yang lebih menarik daripada tengkorak itu sendiri adalah tempatnya ditemukan. Batu yang dipanjat Athans terletak tepat pada dasar tebing batu berwarna cokelat dengan garis-garis putih dan jambon. Di dekat puncak tebing ada beberapa gua kecil yang digali dengan susah payah di batu nan rapuh. Erosi memicu runtuhnya sebagian tebing, menjatuhkan tengkorak itu ke dasarnya. Jika ada tengkorak jatuh, apa lagi yang mungkin masih ada di atas sana?

Mustang, kerajaan masa lalu di utara-tengah Nepal, menyimpan salah satu misteri besar dunia arkeologi. Di tempat berdebu dan berangin kencang yang tersembunyi di Himalaya dan dibelah oleh jurang Kali Gandaki ini banyak sekali gua buatan manusia.

Gua-gua itu ada yang berupa sebuah liang pada tebing batuan lapuk raksasa yang bergelombang. Lainnya, berkelompok dengan lubang yang mendengung bersama saat tertiup angin, kadang bersusun delapan atau sembilan tingkat. Ada yang digali dari muka tebing, ada pula yang digali dari atas. Banyak yang usianya ribuan tahun. Perkiraan konservatif jumlah total gua di Mustang adalah 10.000 gua.


Tidak ada yang tahu siapa yang menggalinya. Atau mengapa. Atau, bagaimana cara orang naik ke gua tersebut. Tujuh ratus tahun lalu, Mustang merupakan tempat yang ramai: pusat pendidikan Buddha dan seni, dan mungkin jalur termudah antara cadangan garam Tibet dengan kota-kota di anak benua India. Saat itu garam merupakan salah satu komoditas dunia yang paling berharga. Selama masa kejayaan Mustang, kata Charles Ramble, ahli antropologi di Sorbonne Paris, kafilah pengangkut garam secara teratur melintasi jalur terjal di kawasan itu.

Kemudian, pada abad ke-17, kerajaan tetangganya mulai mendominasi Mustang, tambah Ramble. Terjadilah penurunan ekonomi. Garam murah mulai tersedia dari India. Arca besar dan mandala yang dicat cemerlang di candi-candi Mustang mulai runtuh. Tak lama kemudian wilayah itu pun nyaris terlupakan.

Pada pertengahan 1990-an, para ahli arkeologi dari University of Cologne dan Nepal mulai meneliti gua-gua yang mudah diakses. Mereka menemukan beberapa puluh jasad, semua berusia di atas 2.000 tahun, terbaring di tempat tidur kayu yang didandani dengan perhiasan tembaga dan manik-manik kaca. Benda-benda itu bukan benda buatan lokal, yang mencerminkan status Mustang sebagai jalur utama perdagangan.

Pete Athans pertama kali melihat gua Mustang saat melakukan pendakian pada 1981. Banyak gua yang tampaknya tidak mungkin didatangi. Namun, Athans, pendaki gunung ulung yang telah menaklukkan puncak Everest tujuh kali, tertantang oleh hal itu. Akhirnya pada 2007 dia mendapatkan izin. Ekspedisi pada musim semi 2011 ini merupakan yang kedelapan kalinya ke daerah itu.

Dalam kunjungan sebelumnya, Athans dan timnya menemukan mural sepanjang 8 meter dengan 42 gambar indah para yogi besar dalam sejarah Buddha. Di gua lain mereka menemukan 8.000 naskah kaligrafi—membahas segala sesuatu mulai dari renungan filsafat hingga risalah cara menyelesaikan sengketa, umumnya berusia 600 tahun.
Yang paling dicari Athans dan para ilmuwan ini adalah gua yang menyimpan benda prasejarah untuk mengungkap misteri terdalam: Siapakah yang pertama kali tinggal di gua-gua itu? Dari manakah mereka berasal? Apa kepercayaan mereka?

Sebagian besar gua yang didatangi Athans berada dalam kondisi kosong, meskipun menunjukkan tanda-tanda pernah ditinggali: tungku, wadah biji-bijian, ruang tidur. “Kita bisa menghabiskan seumur hidup mencari di gua-gua yang salah,” kata Aldenderfer, yang dalam karier panjangnya sebagai arkeolog berkali-kali mengalami misi yang mengecewakan.

Menurutnya, gua ideal adalah yang digunakan sebagai permakaman­—bukan rumah—dengan peninggalan keramik era pra-Buddha berserakan di lantai gua. Berlokasi di tebing yang terlalu tinggi untuk dicapai penjarah. Lalu, penduduk setempat tidak keberatan orang asing mengganggu tulang leluhur mereka. Ada satu tambahan lagi. “Kadang-kadang,” ungkap Aldenderfer, “kita perlu nasib baik.”

Situs yang paling menjanjikan adalah kumpulan gua di dekat sebuah desa kecil bernama Samdzong, tepat di sebelah selatan perbatasan Cina. Athans dan Aldenderfer mengunjungi Samdzong tahun 2010 dan menemukan kompleks gua permakaman. Pada hari kerja pertama di situs itu pada musim semi 2011, saat melakukan pendakian peninjauan di kaki gua, fotografer tim Cory Richards melihat tengkorak yang disebutkan di awal.

Paginya, para pendaki bersiap untuk menyelidiki gua di atas tempat ditemukannya tengkorak itu. Tebing Mustang indah tidak terperi—tubir besar yang terlihat seakan meleleh laksana lilin akibat sinar matahari terik di atas kepala. Punggungnya terkikis hingga menciptakan berbagai bentuk ajaib: telunjuk yang menopang bola batu raksasa, susunan tabung menjulang seperti orgel pipa sejauh mata memandang.

Tetapi, pendakiannya mengerikan. “Maut,” kata Athans. Batunya yang rapuh seperti rempeyek hancur setiap kali disentuh. Sangat berbahaya. Beberapa bulan sebelumnya, Lincoln Else, seorang videografer, tertimpa batu di kepala tak lama setelah dia melepas helmnya. Tengkoraknya retak. Dia menjalani operasi otak darurat di Kathmandu dan selamat.

Untuk mengakses gua Samdzong itu, pendaki utama tim Athans dan Hesser mendaki sisi belakang tebing dan mencapai daerah datar di atas gua. Di sini, dengan izin khusus dari pihak berwenang, mereka menancapkan besi jangkar ke batu dan memasang tali. Hidup Athans bergantung pada jangkar tersebut. Mereka membahas apa yang harus dilakukan jika besi jangkar itu mulai goyah. Hesser mengusulkan dia akan menyumpah sekuat tenaga.
“Boleh juga itu,” kata Athans. Kemudian dia dengan tenang menuruni tebing dengan tali.

Di bawah, di tanah datar, Aldenderfer duduk. Surai peraknya yang unik diikat bandana merah—rambutnya sudah 20 tahun tidak bertemu gunting tukang pangkas. Aldenderfer memegang monitor kecil yang menerima transmisi nirkabel dari kamera video Athans, memungkinkan antropolog itu mengarahkan pencarian dari posisi yang aman.

Di dekatnya, duduk bersila Tsewang Tashi—seorang lama atau pendeta Buddha yang mengajarkan Dharma, berusia 72 tahun—yang mengenakan jubah kasa merah. Dia menyalakan api kecil dengan ranting kayu kesturi lalu mengisi cawan dengan air suci dari botol plastik Pepsi tua. Kemudian dia merapal mantra sambil membunyikan genta kecil, lalu mencelupkan jarinya ke dalam air—upacara perlindungan Buddha untuk mengusir arwah jahat yang bisa membahayakan pekerjaan tim.

Sambil bergantung pada tali hijau, Athans bermanuver dengan gesit ke gua terkecil. Dia harus membungkuk agar dapat masuk—tingginya kurang dari dua meter dengan lebar dan dalam sekitar dua meter. Gua ini jelas dulu merupakan makam dengan lubang masuk vertikal yang tersembunyi, atau gua makam, yang digali membentuk botol anggur. Setelah digali, hanya bagian paling atas dari lubang itu yang terlihat.

Mayat diturunkan ke lubang seukuran selokan, lalu lubang itu ditimbun dengan batu. Ketika tebing runtuh, gua itu menjadi terbuka dari samping.

Sebuah batu besar yang dulu berada di langit-langit kini teronggok di dasar gua. Jika ada se­suatu di dalam gua itu, sekarang tersembunyi di bawah batu. Athans mendongkelnya perlahan-lahan menuju mulut gua. Lalu dia berteriak, “Batu!” dan batu tersebut bergemuruh ke bawah tebing. Setelah lima belas abad atau lebih gua itu ditimbun—diketahui melalui penanggalan karbon—gua itu kembali bersih dari bebatuan.



sumber : nationalgeographic.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

Add My Facebook! Follow me on Twitter!