Kamis, 20 Desember 2012


Festival Film Palestina mengingatkan akar semua konflik di dunia adalah kemanusiaan: memperebutkan lahan untuk hidup.

jerusalem,palestina,israelKota Jerusalem yang masih menjadi lahan konflik antara Palestina dan Israel. (Thinkstockphoto)














“Saya tak punya waktu untuk berperang. Saya hanya ingin membesarkan anak-anak dalam suasana tenteram dan damai."

Tuturan Ayyed Morrar, petani zaitun di Tepi Barat, Palestina, ini dipilih sebagai scenepertama mengisyaratkan Budrus dibuat dengan semangat mengangkat keinginan dasar manusiawi: hidup aman dan damai.
Ayyed menggerakkan 1.500 warga desa Budrus untuk unjuk rasa damai menentang pembangunan tembok pembatas oleh Israel yang akan menggusur 300 hektare tanah yang ditanami 3.000 pohon zaitun, sumber nafkah mereka.

Film dokumenter ini diputar di sesi ketiga Festival Film Palestina yang hanya sehari digelar oleh Asia Pacific Community for Palestine di Jakarta, Minggu (16/12). Penonton memenuhi nyaris 800 bangku Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, di keempat sesi yang menarik tiket Rp 35.000 – Rp45.000.
Home Front menyuguhkan empat sosok di Sheikh Jarrah, timur Al Quds – warga Palestina, Israel, dan warga negara Amerika – yang menentang pengambilalihan lahan oleh Israel. Tears of Gaza tentang gempuran Israel yang membabi buta bahkan pada anak-anak dengan tembakan jarak dekat.

Serta Bethlehem, wilayah kaum Nasrani yang menegaskan bahwa konflik di tanah Palestina sejak lebih dari setengah abad lalu bukanlah konflik SARA, tapi lebih pada perebutan lahan kehidupan.

Kembali ke Budrus, film dokumenter satu jam ini menyajikan secara objektif konflik kepentingan di tanah Palestina. Warga desa yang telah tinggal turun-temurun dan tiba-tiba terusik oleh kedatangan Israel.
Tentara perbatasan Israel -termasuk satu tentara wanita yang disebut Yasmina oleh warga desa- bersikeras bahwa pembangunan tembok penting untuk melindungi Israel dari serangan bom bunuh diri Palestina. Hingga menunjukkan simpati warga Israel dan dunia yang datang ke Budrus untuk turut menentang pembangunan tembok pembatas.

Film ini menyajikan suatu proses: dari desa yang tenang, tiba-tiba memanas oleh kedatangan Israel, kemufakatan warga untuk menentang tanpa kekerasan tapi tetap kukuh agar Israel segera angkat kaki. Setelah 55 kali unjuk rasa damai, akhirnya dicapai jalan tengah: tembok tetap dibangun tapi dengan pembaruan jalur yang tak takkan mengganggu kebun zaitun dan pemakaman leluhur Palestina.

Tembok perbatasan Israel dengan Palestina (Thinkstockphoto)
Konflik ini pun menumbuhkan kesadaran pada diri Iltezam, putri Ayyed Morar, bahwa tak semua orang Israel seperti citra yang ia dapatkan selama ini. Ada pula yang bersimpati damai.

palestina,israel
Saya teringat sebuah kisah di seri komik kisah-kisah dari Alkitab untuk anak-anak yang saya baca semasa kanak-kanak: ada seorang lelaki Yahudi terluka tak sadarkan diri di jalan. 

Beberapa orang Yahudi yang melintas tak tergerak menolong.
Akhirnya sang penolong adalah seorang lelaki Filistin (Palestina) yang selama ini kerap mendapat pencitraan buruk dari warga Yahudi. Bahwa, tidaklah adil memberi suatu cap pada suatu bangsa atau suku bangsa. Semuanya kembali pada pribadi masing-masing.
Budrus meraih tak kurang dari sembilan penghargaan pada berbagai festival film internasional. Ketika meninggalkan ruang pemutaran film, saya menangkap pesan yang tak terucap dari dokumenter menarik ini : bahwa Bumi cukup luas untuk semua orang.

Tak perlu mengganggu dan menutup wilayah dan lahan rezeki orang lain. Tembok pembatas adalah cermin kekhawatiran yang sebenarnya tak perlu. Semua bisa hidup berdampingan damai, bila mau.

Baca juga: Terowongan Gaza, kehidupan ekonomi bawah tanah sekaligus jebakan mematikan di jalur konflik Israel dan Palestina.
(Christantiowati)

0 komentar:

Posting Komentar

Add My Facebook! Follow me on Twitter!