Senin, 06 Desember 2010

Bilal bin Rabah, salah seorang sahabat
dekat Rasulullah. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang keturunan Afrika,
Habasyah tepatnya. Kini Habasyah biasa kita sebut dengan Ethiopia.
Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar, begitulah
Bilal. Pada mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah, Umayyah bin
Khalaf. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun hatinya, insya
Allah bak kapas yang tak bernoda. Itulah sebabnya, ia sangat mudah menerima
hidayah saat Rasulullah berdakwah.
Meski ia sangat mudah menerima hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang dari
sekian banyak sahabat Rasulullah yang berjuang mempertahankan hidayahnya. Antara
hidup dan mati, begitu kira-kira gambaran perjuangan Bilal bin Rabab.
Keislamannya, suatu hari diketahui oleh sang majikan. Sebagai ganjarannya, Bilal
di siksa dengan berbagai cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang
membebaskannya dengan sejumlah uang tebusan.
Boleh dikata, di antara para sahabat, Bilal bin Rabah termasuk orang yang amat
tegas dalam mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy, suatu ketika berkata,
orang yang pertama kali menampakkan keislamannya adalah Rasulullah. Kemudian
setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan keluarganya, Shuhaib, Bilal
dan Miqdad.
Selain Allah tentunya, Rasulullah dilindungi oleh paman beliau. Dan Abu Bakar
dilindungi pula oleh sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah saat itu
adalah Bilal. Ia seorang perantauan, budak belian pula, tak ada yang membela.
Bilal, hidup sebatang kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa lemah atau tak
berdaya. Bilal telah mengangkat Allah sebagai penolong dan walin-ya, itu lebih
cukup dari segalanya.
Derita yang ditanggung Bilal bukan alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang
majikan, tak berhenti hanya dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas hatinya
menyiksa Bilal, Umayyah pun menyerahkan Bilal pada pemuda-pemuda kafir
berandalan. Diarak berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan.
Tapi dengan tegarnya, Bilal mengucap, "Ahad, ahad," puluhan kali dari
bibirnya yang mengeluarkan darah.


Bilal bin Rabah, meski dalam strata sosial posisinya sangat lemah, tapi tidak di
mata Allah. Ada satu riwayat yang membukti-kan betapa Allah memberikan kedudukan
yang mulai di sisi-Nya.
Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin
mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menja-dikan Bilal mendahului
berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah.
"Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga.
Setiap malam aku mendengar gemerisikmu."
Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal
menjawab pertanyaan Rasulullah. "Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadats,
aku langsung berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat."
"Ya, dengan itu kamu mendahului aku," kata Rasulullah membenarkan.
Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah.
Meski demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci
ketimbang yang lain. Dalam lubuk hati kecilnya, Bilal masih menganggap, bahwa ia
adalah budak belian dari Habasya, Ethiopia. Tak kurang dan tak lebih.
Bilal bin Rabah, terakhir melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin
Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat itu, Bilal sudah bermukim di Syiria dan
Umar mengunjunginya.
Saat itu, waktu shalat telah tiba dan Umar meminta Bilal untuk mengumandangkan
adzan sebagai tanda panggilan shalat. Bilal pun naik ke atas menara dan
bergemalah suaranya.
Semua sahabat Rasulullah, yang ada di sana menangis tak terkecuali. Dan di
antara mereka, tangis yang paling kencang dan keras adalah tangis Umar bin
Khattab. Dan itu, menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak
kuasa menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.

Suatu malam, jauh sepeninggal Rasulullah, Bilal bin Rabbah, salah seorang
sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu dengan
Rasulullah.
"Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu," demikian
Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal.
"Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu" kata Bilal masih dalam mimpin-ya. Setelah itu, mimpi
tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang
gulana. Ia dirundung rindu.
Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat
lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal segera memenuhi ruangan kosong di
hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk
Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
Hari itu, Madinah benar-benar diselubungi rasa haru. Kenangan semasa Rasulullah
masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kemarin saja Rasulullah tiada.
Satu persatu dari mereka sibuk sendiri dengan kenangannya bersama manusia mulia
itu. Dan Bilal sama seperti mereka, diharu biru oleh kenangan dengan nabi
tercinta.
Menjelang senja, penduduk Madinah seolah bersepakat meminta Bilal
mengumandangkan adzan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup lama
tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah ingin
menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang dikumandangkan
Bilal.
Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan
bersedia menjadi muadzin kali itu. Senjapun datang mengantar malam, dan Bilal
mengumandangkan adzan. Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika, Madinah seolah
tercekat oleh berjuta memori. Tak terasa hampir semua penduduk Madinah
menitiskan air mata. "Marhaban ya Rasulullah," bisik salah seorang
dari mereka.
Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak untuk mengumandangkan
adzan setelah Rasulullah wafat. Waktu itu, beberapa saat setelah malaikat maut
menjemput kekasih Allah, Muhammad, Bilal mengumandangkan adzan. Jenazah
Rasulullah, belum dimakam-kan. Satu persatu kalimat adzan dikumandangkan sampai
pada kalimat, "Asyhadu anna Muhammadarrasulullah." Tangis penduduk
Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah. Seperti suara guntur yang
hendak membelah langit Madinah.
Kemudian setelah, Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk
adzan. "Adzanlah wahai Bilal," perintah Abu Bakar.
Dan Bilal menjawab perintah itu, "Jika engkau dulu membebaskan demi
kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau
dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku."
"Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal," kata Abu Bakar.
"Maka biarkan aku memilih pilihanku," pinta Bilal.
"Sungguh, aku tak ingin adzan untuk seorang pun sepeninggal
Rasulullah," lanjut Bilal.
"Kalau demikian, terserah apa kehendakmu," jawab Abu Bakar.

0 komentar:

Posting Komentar

Add My Facebook! Follow me on Twitter!